JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah sudah saatnya memiliki kemauan politik untuk menekan subsidi energi dengan menerapkan kebijakan yang tepat. Alihkan anggaran subsidi energi untuk pembangunan infrastruktur, termasuk jalan dan jembatan, serta transportasi publik yang nyaman dan murah.
Ekonom, pelaku usaha, gubernur, dan bankir menegaskan hal itu berkenaan dengan subsidi energi pada RAPBN 2013 yang mencapai Rp 305,9 triliun. Mereka mengatakan, pembangunan infrastruktur di daerah akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyebaran dana subsidi yang lebih adil, meluas.
Mereka juga menekankan perlunya pembangunan infrastruktur transportasi publik yang murah dan nyaman di kota besar. Langkah ini akan mendorong masyarakat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang pada akhirnya bisa menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sekaligus menekan subsidi BBM.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo, dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, meminta persetujuan tambahan subsidi energi sebesar Rp 103,5 triliun dari pagu anggaran subsidi sebesar Rp 202,4 triliun. Dengan tambahan itu, total subsidi energi tahun 2013 mencapai Rp 305,9 triliun atau 20 persen dari volume belanja APBN.
Kenaikan pagu anggaran subsidi ini disebabkan kuota BBM bersubsidi tahun 2012 sebesar 43,5 juta kiloliter. Jika pertumbuhan alami konsumsi Premium sebesar 8 persen per tahun, maka tahun 2013 diperkirakan 46,98 juta kiloliter.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menuturkan, sekitar 70 persen orang yang tidak berhak atas subsidi BBM ikut menikmati subsidi tersebut. Pemilik mobil pribadi setiap hari menikmati subsidi BBM hingga Rp 120.000. "Sangat tidak adil," ujar Hatta.
Pencitraan
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute) Pri Agung Rakhmanto, Minggu (21/10/2012), menyatakan, solusi yang relevan untuk menekan subsidi energi dalam konteks periode anggaran tahun depan adalah menaikkan harga BBM. Hal ini disertai dengan menjalankan diversifikasi energi ke gas dan bahan bakar nabati.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Muhammad Ali, Minggu, mengemukakan, pengurangan subsidi energi harus dilakukan untuk mengurangi beban APBN dan optimalisasi pembangunan. Namun, langkah tersebut perlu disertai solusi yang arif agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
Muhammad Ali mengatakan, efisiensi bisa dilakukan dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga Rp 500-Rp 1.000 per liter bisa menghemat subsidi energi sekitar 15 persen.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Thomas Ola Langodai, di Kupang, Nusa Tenggara Timur, menegaskan, subsidi energi adalah kenikmatan konsumtif yang bersifat sesaat dan tidak berdampak pada perlipatgandaan ekonomi. Politik anggaran APBN yang mengalokasikan subsidi energi hingga Rp 305 triliun justru membuat perekonomian bangsa ini kian menggantung dan lemah kemandiriannya.
Menurut Thomas, alokasi dana subsidi itu setara pembangunan infrastruktur jalan raya 10.000 kilometer. Terkesan, politik anggaran dimaksud lebih merupakan langkah presiden demi pencitraan lebih baik. Sementara sebaliknya secara ekonomi, jelas sebuah bom waktu yang mengabaikan infrastruktur jalan raya untuk pelayanan publik.
Soal politik pencitraan ini, Guru Besar Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika, menilai, sulit untuk memperhitungkan Presiden Susilo bambang Yudhoyono akan menghentikan pembengkakan subsidi dalam struktur anggaran negara. Hal itu disebabkan tahun depan (2013) akan menjadi tahun politik karena sudah mendekati pemilu sehingga akan sulit bagi Presiden mengambil tindakan yang dapat merugikan praktik pencitraannya dan kepentingan pencitraan partai.
Sementara Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin menekankan, dana subsidi energi ini bisa dialihkan ke sektor lain, seperti infrastruktur dan pendidikan. Rudy setuju harga BBM yang ada saat ini dinaikkan asal dicapai harga rasional.
"Saya sarankan untuk BBM bersubsidi, disparitasnya (harga) dicabut saja, tapi kita mendapatkan harga rasional. Kemudian jenis BBM-nya (Pertamax) kita turunkan oktannya sehingga kita bisa dapat jenis biasa, seperti Premium, tapi harganya rasional," ujar Rudy yang juga Ketua Forum Komunikasi Gubernur Se-Kalimantan di Banjarmasin.
Transportasi publik
Dengan pengajuan kenaikan pagu subsidi BBM yang demikian besar, jelas pemerintah belum memikirkan upaya pembangunan transportasi publik yang bisa ikut menekan konsumsi BBM, sekaligus mengurai kemacetan lalu lintas yang akut di kota besar seperti di Jakarta.
Padahal, jika pemerintah pro terhadap kebijakan publik dengan mengalihkan 20 persen hingga 30 persen dari total pagu subsidi energi tahun 2013 untuk pembangunan transportasi publik, paling tidak ada anggaran
Rp 60 triliun hingga Rp 90 triliun. Angka ini sudah lebih dari cukup untuk membangun sistem transportasi yang kuat dan murah.
Mengutip keterangan Direktur Utama PT MRT Jakarta Tribudi Rahardjo, biaya pembangunan MRT per kilometer sebesar Rp 938 miliar tahun 2012. MRT Jakarta ini dibuat dalam konsep kereta bawah tanah (38 persen) dan layang (62 persen). Dengan konsep tersebut, paling tidak dihabiskan investasi Rp 13,9 triliun untuk jarak tempuh 15,7 kilometer. Namun, jika pembangunannya 100 persen layang, investasinya bisa ditekan menjadi sekitar Rp 10,48 triliun.
Sementara itu, nilai proyek monorel di Jakarta juga hampir sama untuk jenis transportasi di ibu kota negara. Mengutip penjelasan Direktur Utama PT Adhi Karya Kiswodarmawan, investasi proyek ini sekitar Rp 12 triliun untuk pembangunan infrastruktur jalur monorel sepanjang 50,8 kilometer, dengan 60 rangkaian, per rangkaian menarik empat kereta.
Selain itu, investasi untuk pembangunan enam ruas jalan tol juga jauh dari memadai. Total investasi untuk enam ruas tol tersebut mencapai Rp 41 triliun dengan panjang jalan 67,74 kilometer.
Demikian juga jika melihat kebutuhan subsidi bagi kereta api untuk bisa menciptakan transportasi ini aman dan nyaman juga jauh lebih murah. Informasi dari Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan, PSO KRL dengan pelayanan satu tarif, yakni seluruh kereta ber-AC dengan daya tampung 150 juta orang per tahun seperti target pengangkutan tahun 2013, hanya butuh dana subsidi Rp 1 triliun.
Apabila PT KAI menambah KRL tiap tahun sebanyak 200 unit menjadi 1.400 unit dari 600 unit yang ada, plus biaya purnajualnya di Jabodetabek, diperkirakan butuh dana investasi Rp 5,5 triliun. Dengan demikian, tambah Jonan, daya angkut menjadi 400 juta penumpang per tahun di tahun 2018 atau 2019. (MAS/LAS/CAS/EVY/BAY/ABK/ANS/WER/RIZ/ODY/FRO/NDY/AST)
Baca Artikel terkait lainnya
Pemilik Mobil Dapat Subsidi Rp 120.000 Per Hari
APBN 2013 Tidak Adil
Editor :
Erlangga Djumena